28 Pebruari…
Aku melangkah perlahan. Merasakan hembusan
angin menggelitik pipiku. Merasakan ombak menyapu kakiku dengan airnya yang
bening. Di sana, di tempat yang terlihat dekat, matahari pun turun dengan
pasti.
Dengan pasti… Hhhh! Aku mendesah pasrah.
Membiarkan kerang yang lagi-lagi dengan pasti melewatiku.
Lihat! Segalanya berjalan dengan pasti.
Segalanya… dan hanya aku yang Masih bimbang. Hanya aku yang Masih terayun-ayun
ombak dan cuma bisa pasrah menunggu pantai tempatku berlabuh.
Kupikir aku bisa sabar menunggu ombak
menurunkanku di suatu pelabuhan. Tapi tidak, teman! Aku sudah terlalu lama
diombang-ambing seperti ini. Tolong, bawa aku lebih jauh lagi dari sini, wahai
sang kekasih angin!
"Assalamualaikum!" terdengar suara
teduh dari arah belakangku. Suara yang begitu lama ingin kudengar. Yang begitu
menenangkan.
Ingin rasanya aku berbalik, menatap sang
pemilik suara itu seperti yang selama ingin kupandangi. Tapi ada sesuatu yang
mencegahku. Jangan! Jangan berbalik. Kau akan semakin terombang-ambing oleh
ombak…
Namun,
lihat! Apa yang kulakukan? Aku berbalik!
Dan saat kedua mataku menatap ke depan,
seraut wajah penuh kehangatan balik menatapku. Dia terlihat begitu anggun, ya
Tuhan! Aku bahkan sangat enggan untuk melepas pandangan.
Sosok
Bintang mendekatiku. Tapi tetap menjaga jarak.
"Kenapa?
Kok sendirian di sini? Enggak takut diculik? Sore-sore gini kenapa nggak
solat?" dia bertanya bertubi-tubi.
Aku
membuka mulut hendak menjawab. Namun yang keluar hanyalah desahan yang timbul
karena terpesona. Sekaligus putus asa.
Laki-laki itu sangat mempesona. Setiap helai
rambutnya yang indah, setiap gerakannya yang biasa, di mataku adalah gerakan
indah yang sangat mengagumkan!
Aku hanya bisa membalas senyumnya.
Dia lalu memanggilku.
"Euuuiiii…sss!
Ssst! Hei? Kenapa?"
Dengar!
Suaranya yang begitu merdu dan terdengar mesra. Andai dia memanggilku begitu
sebagai istrinya…
Hei!
Anak kampung! Dengeeer yah! Kamu itu cuma anak kecil di matanya! Nyadar, tauk,
nyadar! Dia itu beda sama kamu! Dia itu calon Jendral nantinya, seperti Papa
kamu! Inget, tuuuuh! Ingeet! Suara yang bikin gemes bermunculan.
Aku
menggelengkan kepala keras-keras. Berusaha menghilangkan pikiran-pikiran itu.
"Iya, iya! Ngarti, abdi oge ngartos!" Aku bales menjerit.
Ih, dasar suara teh meuni reseh!
"Euis, kamu gak takut sendirian?"
Aku
menggeleng sambil tersenyum.
"Aku kan anak Jenderal, jago silat! Buat
apa takut?"
Dia tertawa lepas mendengar kata-kataku. Aku
memang sudah dididik secara militer sejak kecil. Dan sifat tomboy seperti ini
sudah ada sejak lahir.
"Bagaimanapun juga, kamu ini gadis yang
cantik! Nggak peduli jago silat atau apalah itu! Yang jelas, seorang gadis
butuh perlindungan!" ujarnya sambil tertawa. Aku tertunduk malu.
Ya, Tuhan! Seumur hidup, baru sekali ini ada
orang yang menganggapku sebagai gadis cantik yang wajib dilindungi! Selama ini,
semua orang memperlakukanku layaknya anak laki-laki yang tangguh. Dan kini…
Aku bingung. Nggak tahu harus marah karena
dianggap lemah, atau senang karena inilah pertama kalinya aku merasa
dilindungi. Hah! Harga diriku yang tinggi ini mau dikemanakan?
Aku mendongak angkuh, berniat untuk membalas
ucapannya dengan kata-kata kasar. Tapi ada sesuatu di sana, di matanya. Sesuatu
yang membuatku terhanyut sekaligus terpesona. Dia memalingkan wajah.
"Ya, ampun! Kamu benar-benar
mengingatkanku pada adikku!"
Adik? Adik? Mengertilah aku saat itu. Aku
memang hanya anak kecil di matanya. Hanya adik!
Dan di sanalah segala harapanku luruh sudah.
Ombak sudah berhenti, dan mendamparkanku di suatu pantai. Tepat seperti yang
kuinginkan untuk berhenti terombang-ambing.
Tapi kenapa? Kenapa harus di pantai ini aku
berlabuh? Kenapa harus di pantai keputusasaan…?!
***
12 Juli…
Aku termangu di depan rumah. Ayahku, Jenderal
hebat, seperti yang orang bilang, sedang berbicara serius dengan laki-laki itu.
Pandangan Bintang tidak lepas dari buku-buku itu. Dia begitu bertekad untuk
menjadi Jenderal nanti.
Bukan! Dia bukan hanya tahu tentang taktik
perang! Dia tahu segalanya! Bintang ahlinya dalam ilmu alam, dan dia juga
menguasai ilmu sosial. Belum lama ini, aku baru tahu kalau ternyata dia tahu
banyak tentang otomotif dan musik. Aku bahkan pernah dengar dia bermain biola
ayah sekali.
"Dia begitu sempurna." Aku hanya
bisa berkata lirih. Sarat dengan kepedihan. Kenapa begitu jauhnya jarak kami.
Keteguhannya dalam menjalani hidup mandiri
membuatku sangat terkesan. Mungkin di mata gadis lain, Bintang hanya sosok
kerempeng yang kurang gaul. Dan tentu saja, kurang makan.
Asal tahu saja, di mataku, dia adalah sosok
yang sangat cocok untuk dijadikan contoh kesempurnaan umat manusia. Kelak kalau
ada yang bertanya siapakah manusia yang paling tampan di bumi ini, maka Donny
Osmond. Dia tahu segala hal, dia bisa segala hal. Tapi ada satu yang dia nggak
tahu. Dia nggak tahu perasaanku.
Yah, bisa dibilang dia nggak perlu tahu
perasaanku. Karena aku sudah telanjur nggak punya harapan lagi. Dia sudah
mempersunting seseorang tepat seminggu setelah pembicaraan di pantai dulu. Dan
gadis yang sangat tolol itu, dengan bodohnya, menolak lamaran Bintang
mentah-mentah.
Tapi Bintang hanya tersenyum. Sambil tertawa ramah
dan berkata.
"Yah! Dia bukan jodohku, ‘kali!"
Saat itu ingin rasanya aku melompat lalu
berteriak di depan mukanya.
"Lihat aku! Akulah jodohmu, tahu! Mata
kamu buta ya? Nggak ngerasa ada gadis yang lebih cantik dan terpelajar di
sini?"
Tapi… yah! Jangan yang aneh-aneh, ah! Aku ini
cuma anak kecil! Mana bisa omonganku ditanggapi?
"Assalamualaikum?"
Ah! Lamunanku langsung buyar. Bintang sudah
berdiri di depanku. Wajahku terasa memanas. Malu karena rasanya pikiranku tadi
terlalu gamblang.
Aku menjawab salamnya dengan kikuk. Lalu
menengok ke arah ayahku. Aneh sekali, ekspresi wajahnya terlihat janggal ada
apa ini? Aku memandangi Bintang bingung.
"Aku mau pergi!" katanya tertahan.
Oh, aku mengerti sekarang.
"Oooh! Sudah mau pulang?" tanyaku
rikuh.
Dia menggeleng.
"Bukan! Bukan pulang! Tapi… aku…. Iya!
Aku memang mau pulang…"
Nah lo? Kok belibet banget sih ngomongnya?
"Pulang ke Jakarta! Atasanku bilang…
akan ada kenaikan pangkat dan… yah begitu deh! Rasanya kita tidak akan bisa
bertemu lagi! Suatu saat nanti, ingat aku ya?" kata-katanya begitu cepat.
Diucapkan dengan terburu-buru. Apa dia tahu aku akan sedih?
Tapi aku nggak akan menampakkan kesedihanku
ini. Lalu dengan lagak sok ceria. Aku tersenyum riang.
"Wah, selamat deh! Selamat senang-senang
ya? Eh, lain kali mampir ke sini, jangan lupa sama…, Ayah!"
Aku terus meMasang tawa konyol. Dia
memandangku sebentar, lalu memalingkan wajah.
"Semoga kamu bisa dapat suami yang baik!
Cari suami yang ganteng ya? Ah, lumayan kan? Biar bisa memperbaiki
keturunan!" katanya mengejek. Aku meleletkan lidah pura-pura kesal. Untuk
beberapa saat, kami saling menggoda.
Aku menatap ke arah belakangnya. Ayahku,
tersenyum sedih dari balik jendela. Dia lalu melirikku dan menggeleng heran,
dia bingung kenapa aku nggak sedih. Aku tersenyum padanya lalu ke arah Bintang.
Dia berjalan pelan membuka gerbang rumahku.
Lalu aku tidak tahan lagi, aku berbalik membelakanginya. Rasa sakit ini nggak
bisa dibendung lagi. Airmataku bergulir keluar satu per satu.
Apa ini yang disebut perpisahan? Aku sering
membaca di buku, kupikir perpisahan adalah saat-saat Sang Gadis memeluk erat
kekasihnya sambil menangis. Dan kekasihnya balas mencium pipinya. Bukan! Bukan
saling mengejek seperti ini!
Ah! Aku mendesah. Baru teringat satu hal yang
ketinggalan. Aku dan Bintang bukan apa-apa. Kami bukan kekasih. Di matanya,
selamanya, aku hanya anak kecil. Anak kecil!
Selamat tinggal! Selamat tinggal, cinta
pertamaku! Kelak, bila kau sudah berada di atas sana, jangan lupakan anak kecil
ini! Anak kecil yang cukup bodoh untuk menyukai orang hebat sepertimu…
***
2 April, enam tahun kemudian…
Dia berdiri di gerbang depan, tempat yang
sama saat aku menangis untuknya. Ah, aku mendesah bahagia.
Aku menghambur keluar. Membuka gerbang itu
untuk pria yang telah kutunggu bertahun-tahun lamanya. Dia kembali… dia
kembali!
Dan kini, wajahnya semakin tampan. Tubuhnya
semakin tegap, dan dadanya kian bidang. Oh, begitu banyak yang berubah! Aku
menunduk malu, menatap sepatuku. Satu-satunya yang berubah mungkin cuma ukuran
sepatuku.
Dia membuka kopernya yang penuh dengan uang
dan perhiasan indah. Lalu tersenyum jahil padaku. Seperti yang sering
dilakukannya dulu untuk mengejekku.
"Aku nggak mau pinanganku ditolak lagi
gara-gara kurang biaya!" katanya sambil mengedipkan mata.
Ayahku tampak berjalan ke arah kami dengan
tongkatnya, berseri-seri. Kini ia sudah pensiun. Aku merasa, Ayah tahu,
penantianku tidak sia-sia.
"Euis… maukah kamu menjadi
istriku…"
Butiran kristal ini tak terbendung lagi. Aku
menangis bahagia. Terima kasih, Allah! Terima kasih, telah memberikan seseorang
yang begitu sempurna…
"Euis… maukah kamu menjadi
istriku…" Bintang mengulang kembali perkataannya. Aku masih termangu.
Bintang meneruskannya lagi, "Yang kedua,
ya?"
Kali ini, aku mengangguk mantap. Dan menatap
matanya itu, ah, sepasang mata yang begitu tegar menghadapi hidup. Aku merasa
bintang pun kini tersenyum mengiring dua hati yang telah bertaut.
Inilah pelabuhanku yang sebenarnya…
***
Catatan; cerpen ini dimuat di antologi cerpen
lintasgenerasi, terbitan Gema Insani Press. Ketika teteh baca cerpennya yang
satu ini juga papanya... eeeh... dia langsung komentarin bahwa ini termasuk
nyastra.. apa bener ini karya si butet?
Husss... jangan prasangka, kata teteh, memang ini
karyanya kok. Dia lagi naksir seseorang rupanya pas kelas 3 smp
No comments:
Post a Comment